Friday 6 September 2013

WAKTU ADALAH UNSUR TERPENTING DALAM DAKWAH


WAKTU ADALAH UNSUR TERPENTING DALAM DAKWAH
by : Wandi Jaya Putra
LMT TRUSTCO Palembang || Trainer || Psychology Service || entrepreneur
|| follow : @wandijp ||

Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi) merupakan faktor penting bagi manusia terutama bagi seorang kader dakwah, hal ini tedapat dalam muwashofat yang idealnya dimiliki oleh seorang kader dakwah. dengan kata lain seorang kader dakwah harus pandai mendisiplinkan waktunya agar semua urusannya dapat terlaksana dengan tepat waktu.  Karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt banyak bersumpah di dalam Al-Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan sebagainya. Allah Swt memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama setiap, Yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: “Lebih baik kehilangan jam dari pada kehilangan waktu.” Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk memanaj waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Saw adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.

Banyak Da’i merasa putus asa ketika berdakwah, mereka menggunakan sekian banyak argumentasi dan dalil, akan tetapi mereka tidak mendapatkan sambutan yang besar dari objek da’wah. Perasaan putus asa itu muncul akibat hilangnya salah satu unsur penting dalam proses dakwah, yaitu waktu. Hal yang harus kita sadari adalah bahwa kita berinteraksi dengan realitas individu yang tidak Islami, yang dibentuk dengan berbagi faktor yang banyak, faktor dominannya adalah pengaruh materialisme destruktif, yang telah merasuk ke setiap individu. Seorang Da’i selalu berinteraksi dengan pribadi buruk di bawah kebobrokan pemikiran dan moral, hal ini biasanya menjadi penghalang bagi da’i untuk berkumunikasi dengan mad’unya, atau dengan kata lain Da’i berada di satu alam sedangkan mad’u berada di alam yang lain, di antara keduanya terjadi kesenjangan nilai. Karena itu terjadinya respon yang cepat yang bukan yang tidak proporsional dan wajar, bertentangan tabiat segala sesuatu.

Sesungguhnya kata-kata yang diucapkan oleh sang Da’i tidak akan sia-sia, pasti merasuk ke dalam pikiran mad’u dan akalnya kelak akan memilih dan menjadi akumulasi pengalaman yang baik. Sesungguhnya pengaruh kata-kata yang diucapkan beberapa tahun sebelumnya akan membuahkan sikap yang membuatnya kembali mengenang pengalamannya, kemudian apa yang diucapkan sang da’i akan didapati oleh da’i yang lain setelah beberapa tahun berikut. Seringkali terjadi ketika kita berbicar dengan seseorang lalu Ia berkata : “Ini adalah seseuatu yang pernah saya dengar dari fulan”

Sesungguhnya memilih waktu dalam berdakwah adalah masalah tujuan kepentingan, ada waktu di mana seseorang sedang menyendiri, sehingga tidak siap menerima pemikiran. Bahwasanya dakwah akan berpengaruh dalam suasan dan kondisi yang kondusif  baik pada Da’i maupun Mad’unya, oleh karena itu hendaknya Da’i memilih waktu yang paling cocok dengan kendala dan hambatan yang minim. Ibnu Mas’ud RA berkata : “Rasulullah pernah beberapa saat tidak memberi nasehat, karena khawatir kami merasa bosan”. Da’i tidak boleh terlalu lama mengajarkan mad’unya, sehingga membuatnya gelisah dan bosan. Memberi materi dalam waktu yang tidak terlalu lama, akan membuat mad’u marasa rindu ingin menyempurnakan pelajaran dan bahkan menginginkan tambahan.
Sikap emosional terhadap mad’u akan berdampak buruk, apakah Ia menolak atau menerima, keduanya berbahaya bila terjadi sebelum waktunya. Mad’u bersikap menerima atau menolak lebih dominan karena paksaan bukan pilihan.

Ketika mad’u menyatakan menolak, sesungguhnya Ia tergesa-gesa mengambil sikap, sebelum menerima gambaran dakwah secara utuh, penolakannya adalah sikapnya terhadap dakwah, dan tidak mudah untuk merubah sikapnya, karena biasanya seseorang kukuh dengan pendiriannya. Hal ini disebabkan oleh Da’i yang terburu-buru memetik buah sebelum tiba masa panennya. Sebaliknya mad’u yang terlalu cepat menerima, tidak lama setelah itu akan mendapati dirinya tidak mampu memikul beban dan kewajiban yang tidak pernah diperhitungkan sebelumnya, padahal bila saja Ia menunggu sebentar, ia tidak kan buru-buru mengambil sikap tersebut, sehingga menjadi jelas mana sikap yang normal mana yang prematur, munculnya sifat dusta dan munafik karena faktor tergesa-gesa (Isti’jal). Seandainya dibuka terlebih dahulu kesempatan berfikir dan merenung, pasti Ia akan  mengambil sikap yang mendasar dan orisinil. Jalan yang terbaik adalah janganlah kita emosional dalm mengeluarkan pernyataan, akan tetapi kita meminta kepada mad’u agar tidak terlalu cepat mengambil sikap, seraya berterus terang kepadanya tentang tantangan dan konsekwensi menerima dakwah secara positif dan realistis.


Sesungguhnya waktu merupakan unsur yang dapat meringankan intensitas da’i dan mengantisipasi sikap putus asa yang terkadang menimpa mereka, juga membuka pintu cita-cita, yang demikian itu bila mereka benar-benar memahami peran waktu, sebagaimana seorang dokter tidak berkata kepada pasiennya bahwa anda akan sembuh seketika, tetapi Ia akan berkata anda akan sembuh beberapa hari lagi.