WAKTU ADALAH UNSUR TERPENTING DALAM DAKWAH
Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi) merupakan
faktor penting bagi manusia terutama bagi seorang kader dakwah, hal ini tedapat
dalam muwashofat yang idealnya dimiliki oleh seorang kader dakwah. dengan kata
lain seorang kader dakwah harus pandai mendisiplinkan waktunya agar semua
urusannya dapat terlaksana dengan tepat waktu. Karena waktu itu sendiri
mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt banyak
bersumpah di dalam Al-Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad
dhuha, wal asri, wallaili dan sebagainya. Allah Swt memberikan waktu kepada
manusia dalam jumlah yang sama setiap, Yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu
yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi.
Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: “Lebih baik kehilangan jam
dari pada kehilangan waktu.” Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan
tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut
untuk memanaj waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan
penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung
oleh Nabi Saw adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima
perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua,
senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
Banyak Da’i
merasa putus asa ketika berdakwah, mereka menggunakan sekian banyak argumentasi
dan dalil, akan tetapi mereka tidak mendapatkan sambutan yang besar dari objek
da’wah. Perasaan putus asa itu muncul akibat hilangnya salah satu unsur penting
dalam proses dakwah, yaitu waktu. Hal yang harus kita sadari adalah bahwa kita
berinteraksi dengan realitas individu yang tidak Islami, yang dibentuk dengan
berbagi faktor yang banyak, faktor dominannya adalah pengaruh materialisme
destruktif, yang telah merasuk ke setiap individu. Seorang Da’i selalu
berinteraksi dengan pribadi buruk di bawah kebobrokan pemikiran dan moral, hal
ini biasanya menjadi penghalang bagi da’i untuk berkumunikasi dengan mad’unya,
atau dengan kata lain Da’i berada di satu alam sedangkan mad’u berada di alam
yang lain, di antara keduanya terjadi kesenjangan nilai. Karena itu terjadinya
respon yang cepat yang bukan yang tidak proporsional dan wajar, bertentangan
tabiat segala sesuatu.
Sesungguhnya
kata-kata yang diucapkan oleh sang Da’i tidak akan sia-sia, pasti merasuk ke
dalam pikiran mad’u dan akalnya kelak akan memilih dan menjadi akumulasi
pengalaman yang baik. Sesungguhnya pengaruh kata-kata yang diucapkan beberapa
tahun sebelumnya akan membuahkan sikap yang membuatnya kembali mengenang
pengalamannya, kemudian apa yang diucapkan sang da’i akan didapati oleh da’i
yang lain setelah beberapa tahun berikut. Seringkali terjadi ketika kita
berbicar dengan seseorang lalu Ia berkata : “Ini adalah seseuatu yang pernah
saya dengar dari fulan”
Sesungguhnya
memilih waktu dalam berdakwah adalah masalah tujuan kepentingan, ada waktu di
mana seseorang sedang menyendiri, sehingga tidak siap menerima pemikiran.
Bahwasanya dakwah akan berpengaruh dalam suasan dan kondisi yang kondusif baik pada Da’i maupun Mad’unya, oleh karena
itu hendaknya Da’i memilih waktu yang paling cocok dengan kendala dan hambatan
yang minim. Ibnu Mas’ud RA berkata : “Rasulullah pernah beberapa saat tidak
memberi nasehat, karena khawatir kami merasa bosan”. Da’i tidak boleh terlalu
lama mengajarkan mad’unya, sehingga membuatnya gelisah dan bosan. Memberi
materi dalam waktu yang tidak terlalu lama, akan membuat mad’u marasa rindu
ingin menyempurnakan pelajaran dan bahkan menginginkan tambahan.
Sikap
emosional terhadap mad’u akan berdampak buruk, apakah Ia menolak atau menerima,
keduanya berbahaya bila terjadi sebelum waktunya. Mad’u bersikap menerima atau
menolak lebih dominan karena paksaan bukan pilihan.
Ketika
mad’u menyatakan menolak, sesungguhnya Ia tergesa-gesa mengambil sikap, sebelum
menerima gambaran dakwah secara utuh, penolakannya adalah sikapnya terhadap
dakwah, dan tidak mudah untuk merubah sikapnya, karena biasanya seseorang kukuh
dengan pendiriannya. Hal ini disebabkan oleh Da’i yang terburu-buru memetik
buah sebelum tiba masa panennya. Sebaliknya mad’u yang
terlalu cepat menerima, tidak lama setelah itu akan mendapati dirinya tidak
mampu memikul beban dan kewajiban yang tidak pernah diperhitungkan sebelumnya,
padahal bila saja Ia menunggu sebentar, ia tidak kan buru-buru mengambil sikap
tersebut, sehingga menjadi jelas mana sikap yang normal mana yang prematur,
munculnya sifat dusta dan munafik karena faktor tergesa-gesa (Isti’jal).
Seandainya dibuka terlebih dahulu kesempatan berfikir dan merenung, pasti Ia
akan mengambil sikap yang mendasar dan
orisinil. Jalan yang terbaik adalah janganlah kita emosional dalm mengeluarkan pernyataan,
akan tetapi kita meminta kepada mad’u agar tidak terlalu cepat mengambil sikap,
seraya berterus terang kepadanya tentang tantangan dan konsekwensi menerima
dakwah secara positif dan realistis.
Sesungguhnya
waktu merupakan unsur yang dapat meringankan intensitas da’i dan mengantisipasi
sikap putus asa yang terkadang menimpa mereka, juga membuka pintu cita-cita,
yang demikian itu bila mereka benar-benar memahami peran waktu, sebagaimana
seorang dokter tidak berkata kepada pasiennya bahwa anda akan sembuh seketika,
tetapi Ia akan berkata anda akan sembuh beberapa hari lagi.